Selasa, 05 Mei 2015

strukturalisme dan semiotika

BAB I
PENDAHULUAN
• Latar Belakang Masalah

Dalam pemakaian sehari-hari, menguasai bahasa sering diartikan sebagai mampu berbicara dalam bahasa itu. Secara lebih serius disini diartikan sebagai kemampuan menggunakan simbol secara bermakna untuk berkomunikasi. Jadi dalam konteks ini penguasaan bahasa bergantung pada empat kata kunci: penggunaan, simbol, makna dan komunikasi . Manusia berkomunikasi dengan manusia lainya hanya dengan bunyi-bunyi atau suara yang dihasilkan oleh mulut dan didengarkan oleh telinga. Makin berkembang akal manusia, makin maju ilmu pengetahuan makin banyak media komunikasi yang digunakan.
Dengan kemampuan kebahasaan akan terbentang luas cakrawala berpikir seseorang dan tiada batas dunia baginya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wittgenstein yang menyatakan; “batas bahasaku adalah batas duniaku”. Melalui pernyataan ini orang-orang yang berpikir (homo sapiens) akan bertanya dalam diri apa itu bahasa? Apa fungsinya?. Perlu kita ketahui bahasa baik lisan maupun tulisan adalah alat bagi manusia untuk mengungkapkan pikirannya yang abstrak. Ketika ingin mengutarakan arti yang abstrak sifatnya (signifie). Setelah ditulis atau diucapkan, fikiran tersebut menjadi sesuatu yang kongkrit sifatnya (signifian). Jadi, bahasa adalah alat untuk memperoduksi arti.

Manusia dapat berpikir dengan baik karena dia mempunya bahasa. Tanpa bahasa maka manusia tidak akan dapat berpikir. Demikian juga tanpa bahasa maka kita tidak dapat mengkomunikasikan pengetahuan kita kepada orang lain. Binatang tidak diberkahi dengan bahasa yang sempurna sebagaimana kita milik, oleh sebab itu binatang tidak dapat berpikir dengan baik dan mengakumulasikan pengetahuannya lewat peroses komunikasi. Dalam rangka kehidupan manusia maka fungsi bahasa yang paling dasar adalah menjelmakan pemikiran konseptual kedalam dunia khidupan. Kemudian penjelmaaan tersebut menjadi landasan untuk suatu perbuatan, perbuatan ini menyebabkan terjadinya hasil.
Unsur bahasa yang disebut kata yang sering didengar atau dibaca biasa disebut lambang (simbol). Lambang dalam semiotik biasa disebut tanda (sign). Sebuah ambulans yang meluncur dijalan raya yang membunyikan sirine dengan lampu merah berputar-putar,menandakan ada orang celaka yang dilarikan kerumah sakit. Tafsiran itu berbeda jika sirine itu berasal dari mobil polisi yang melaju dengan cepat didepan rombongan pembesar. Karena sirine itu menandakan bahwa ada pembesar yang lewat, maka pengguna jalan harap menepi makna dipahami sebagai system semiotik yang mengandung tannda-tanda dan non-kebahasaan, seperti symbol, ikon, dan indikasi. “asap” merupakan tanda adanya api. Lambang sebenarnya juga adalah tanda. Hanya bedanya lambang ini tidak memberi tanda secara langsung, melainkan melalui sesuatu yang lain. Warna merah pada bendera merah putih melambangkan “keberanian”, dan warna putih melambangkan “kesucian. Gambar padi dan kapas pada burung garudra pancasila melambangkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Oleh sebab itu akan lebih menarik lagi, apabila kita kaji secara mendalam dalam makalah ini, dan untuk lebih jelasnya pemakalah akan memaparkan tentang strukturalisme dan semiotik.
2. Rumusan masalah
2.1. Bagaimana pengertian strukruralisme ?
2.2. Bagaimana pengertian semiotik ?





BAB II
PEMBAHASAN
A. 1. Strukturalisme
Strukturalisme lahir dari pemikiran de Saussure melalui kuliah-kuliahnya di Universitas Jenewa, Swiss, dan terutama melalui kumpulan kuliahnya yang diterbitkan kedua muridnya. Dalam karyanya berisi pokok-pokok De Saussure memperkenalkan empat konsep konsep yang masing-masing ditampilkan secara dikotomis, yaitu (1) Langue vs Parole, (2), sintagmatik vs paradigmatic, (3), sinkronik vs diakroni, dan (4), signifiant vs signifie.
1.1.1. Langue vs Parole
Teori lingusitik Saussure tidak menggunakan “struktur” melainkan “sistem” parole (ujaran) sebagai bahasa yang diucapkan terkait dengan psikologis dan sosiologis. Sedangkan langue mempersentasikan aturan-aturan elemen-elemen linguistik. Langue adalah bahasa tertentu yang digunakan sekelompok yang tinggal disuatu komunitas tertentu pula. Komunitas dimana sekelompok manusia menggunakan bahasa tertentu ini disebut dengan kelompok linguistik. Ketika ada sekelompok manusia, walaupun terdiri dari berbagai bangsa, tetapi mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang sama, maka mereka dikatakan berada dalam satu bahasa dalam konteks langue. Ini dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu bahasa lisan dan bahasa tulisan.
Bahsa tulisan, digunakan memakai system alfabetis, yaitu dengan memakai huruf-huruf yang melambangkan bunyi-bunyi tertentu. Kata yang merupakan unsur bahasa yang memebentuk kalimat, tidak dapat berdiri sendiri. Keberadaannya salang kait mengait satu sama lain. Kita dapat mengartikan kata-kata dan aturan-aturan yang ada dalam suatu kalimat dengan melihat hubunganya satu sama lain. Sifat saling keterikatan antaraturan tersebut membentuk suatu system, yang kemudian membentuk struktur bahasa, sehingga mempelajari bahasa sebagai sarana komunikasi berarti mempelajari strukturnya.
1.1.2. Sintagmatik dan Paradigmatik
Segala sesuatu yang ada dalam bahasa didasarkan atas relasi-relasi. Relasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu relasi sintagmatik dan paradigmatic. Sebuah sintegma merujuk kepada hubungan in praesentia diantara satu kata dengan kata-kata yang lain. Sebagai penjelas, kita ambil kalimat berikut.
Kucing itu menggondol ikan
Kata kucing, melalui nalar tertentu yang tidak disadari, sesunggunya asosiatif selalu terkait dengan kata-kata lain dalam pikiran kita. Asosiasi itu terjadi dengan banyak cara, baik yang menyangkut citraan bunyinya maupun aspek konseptualnya. Misalnya kucing dapat berasosiasi dengan kelinci, monyet, dan anjing. Karena mereka merupakan satu serial konsep binatang piaraan. Hubungan asosiatif seperti itulah yang disebut sebagai relasi paradigmati
Selanjutnya adalah relasi sintagmatik, yakni relasi antar tanda yang hadir secara berurutan dalam satu linearitas tindakan berbahasa. Relasi ini muncul sebagai akibat dari tindakan berbahasa yang berlangsung dalam waktu, yakni kemunculan tanda bahasa satu persatu secara urut dalam rentangan waktu atau rentangan citra visualnya biala ia berwujud tulisan. Relasi sintagmatik mempunya kaidah yang secara tidak sadar selalu diikuti oleh penutur bahasa. Misalnya, dalam bahasa Indonesia fungsi objek, kucing, biasanya mendahului fungsi predikat, menggondol.
Didalam semiotik, gagasan yang paling berpengaruh baik terhadap linguistik maupun terhadap antropologis adalah bahwa tanda itu tidak mempunyai referen. Hal itu berbeda dengan Peirce yang referennya justru merupakan unsur ketiga yang penting dalam pembentukan interpretan atau konsep. Tidak adanya referen berarti bahwa petanda (signified) tidak dapat dikaitkan aspek-aspek atau unsur-unsur dari dunia ekstern. Konsep atau makna bukanlah sesuatu yang terbentuk oleh keterkaitan antara tanda dan apa yang diacu oleh tanda itu. Kalau begitu bagaimana petanda itu terbentuk ? menurut Saussure, petanda merupakan sebuah nilai yang ditentukan oleh kedudukan tanda dalam hubungan dengan tanda lainnya. Jaringan hubungan yang terbentuk dengan cara demikian menetukan konsep atau makna dari tanda. Jadi, makna adalah hasil dari hubungan satu tanda dengan tanda lainya.
1.1.3. Diakronis dan Sinkronis
Menurut Saussure, bahasa dapat dipelajari dari waktu kewaktu atau pada waktu tertentu. Dalam analisis struktural dia mengemukakan bahwa kata dapat melihat suatu gejala kebahasaaan secala sinkronis, yakni pada lapisan waktu dan ruang tertentu, atau secara diakronis, yakni dengan melihat perkembangannya dari sutu lapisan waktu kelapisan waktu yang lain. Namun, perlu dicatat bahwa pandangan sinkronis merupakan dasar analisis diakronis.

1.1.4. Penanda dan Petanda
Ketika mendengar kata kucing, seorang penutur bahasa Indonesia dengan serta merta dapat mempunyai ide dan gambaran dalam benaknya tentang “seekor binatang berkaki empat, berbulu lembut, berkumis seperti jarum, biasa dipelihara, dan sebagainya”, pendek kata, ia akan mempunyai gambaran ide atau konsep kekucingan. Dalam terminologi linguistic Saussure, konsep itu –bukan binatangnya-dinamakan signifie yang diterjemahkan sebagai petanda (hal yang ditandai). De Saussure memberikan contoh kata arbor dalam bahasa latin yang berarti “pohon”. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas dua segi yakni/arbor/dan ♣ (konsep pohon).





Signifiant/ arbor/ disebutnya sebagai citra akustik yang mempunya relasi dengan konsep “pohon”
Gambar: rambu dilarang berputar kekanan.
Rambu lalu lintas pada gambar tersebut, sebagai sebuah tanda non kebahasaan, memperlihatkan penanda yang berupa citra-visuaal, yakni sebuah anak panah yang menikung 180 ̊ beserta garis miring yangmencoret diatasnya. Citra visual yang tertera pada rambu ini adalah penanda, sedangkan petanda atau maknanya adalah dilarang berputar kekanan.

2. Semiotika
Madji Wahbah dalam kamusnya menyebutkan bahwa semiotika adalah ‘ilm al-‘alamat atau ilmu tanda, selain istilah ‘ilm al-‘alamat, juga dikenal dengan istilah ‘ilm al-Isyarat dan simiyulujiyyah, kata serapan Arab dari semioligi, suatu istilah yang penegertiannya sama dengan semiotik.
Secara definitif, menurut Paul Cobley dan Litza Janz semiotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani, yang berarti penafsiran tanda. Literatur lain menjelaskan istilah “semiotika” diambil dari kata “semion”(Yunani) yang artinya tanda. Selain kata semiotika digunakan pula kata semiologi (istilah yang digunakan Saussure), yaitu ilmu yang secara sistematis mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang, system-sistem lambing dan proses perlambangan. Ilmu- ilmu bahasa ada didalamnya. Terhadapnya ilmu strukturalisme telah memberikan dasar-dasar bangunan yang kokoh. Tanda itu berada dimana-mana, kata atau kalimat adalah tanda. Demikian juga gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya. Bahkan bahasa Tuhan pun dapat dikatakan sebagai “tanda” (al-ayat), baik itu yang ada dialam (al-kauniyah) maupun tanda yang ada dalam kitab suci.
Pengertian semiotika berhubungan dengan pengertian semantik karena dua pengertian itu meliputi makna dan kemaknaan dalam komunikasi antar manusia. Charles Morris mengatakan bahasa sebagai satu sistem sign dibedakan atas signal dan simbol. Akan tetapi, semiotik bukan hanya berhubungan dengan isyarat bahasa, melainkan juga berhubungan dengan isyarat-isyarat nonbahasa dalam komunikasi antarmanusia. Kita dapat mengetakan bahwa dalam semiotika adalah ilmu isyarat komunikasi yang bermakna.
Pemahaman awal terhadap gejala yang berkaitan dengan tanda dapat ditelusuri dalam pikiran Plato dan Aristoteles dalam membicarakan mengenai bahasa. Pemahaman berikut dilakukan oleh mazhab Stoik dan kaum epicurean di Athena sekitar abad ke-3 SM, khususnya oleh filsuf philodemus, dalam kaitannya dengan perbedaan antara tanda alamiah dan tanda konvensional. Diantara kedua tanda tersebut, jenis tanda yang memperoleh perhatian dan yang kemudian dikembangkan secara ilmiah pada abad berikutnya, khusus pada abad pertengahan adalah tanda-tanda konvensional, seperti yang dilakukan oleh St Agustinus (354-430), William of Ockham (1285-1349), Jhon Locke (1632-1704). Menurut van Zoest semiotika memperoleh perhatian yang lebih serius abad ke-18, sekaligus mulai menggunakan istilah semiotika, yaitu J.H. Lambart. Atas dasar ilmu ketandaan, holliday menyebutkan semiotoika sebagai kajian umum, dimana bahasa dan sastra hanyalah salah satu bidang didalamnya. Meskipun demikian, justru dalam bahasa dan sastralah semiotic dilakukan secara sangat mendalam.
Meskipun pengkajian tanda dilakukan sepanjang abad, tetapi pengkajian secara benar-benar ilmiah baru dilakukan pada awal abad ke-20, yang dilakukan oleh dua orang ahli yang hidup pada zaman yang sama, dengan konsep dan paradigm yang hampir sama. Kedua sarjana tersebut adalah Ferdinand de Saussure (19857-1913) dan Charles Sanders Pierce(1839-1914). Saussure adalah ahli bahasa, sedangkan Peirce adalah ahli filsafat dan logika.
Jika kita mengikuti Charles S. Pierce maka semiotika tidak lain daripada sebuah nama lain dari logika, yakni “dokrin formal tentang tanda-tanda” (the formal doctrine of signs); sementara bagi Ferdinand de Saussure semiology adalah sebuah ilmu umum tentang tanda, “suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda didalam masyarakat” (a since that studies the life if signs within society). Dengan demikian, bagi perice semiotika adalah suatu cabang dari filsafat; sedangkan bagi Saussure semiologi adalah bagian dari disiplin ilmu psikologi sosial
Baik istilah semiotika maupun semiologi dapat digunakan untuk merujuk ilmu tentang tanda-tanda (the since of signs) tanpa adanya perbedaan pengertian yang terlalu tajam. Satu-satunya perbedaan diantara keduanya, menurut Hawkes adalah bahwa istilah semiologi lebih banyak dikenal dieropa yang memwarisi tradisi lingusitik Saussurean; sementara istilah semiotika cendrung dipakai oleh para enutur bahasa inggris atau mereka yang mewarisi tradisi peircian.
Menurut peirce ada tiga faktor yang menetukan adanya sebuah tanda, yaitu tanda itu sendiri, hal yang ditandai, dan sebuah tanda baru yang terjadi dalam batin sipeneriam. Baginya. Makna tanda yang sesungguhnya adalah mengemukakan sesuatu. Antara tanda (signs) dan apa yang ditandai (diacu) terdapat sesuatu hubungan representasi (to represent= menghadirkan, mewakili). Kata table (meja), umpamanya. Adalah mewakili suatu prabot rumah tangga, ia mengacu keperabotan itu. Apa yanag diwakili atau diacu, oleh Peirce diberi nama “objek” itu adalah segala yang ada. Tanda dan representasi bersama-sama menuju tafsiran. Tafsiran merupakan tanda baru, yaitu sesuatu yang dibayangkan oleh sipenerima tanda jika ia mengamati tanda itu. Hasil tafsiran itu oleh Peirce dinamakan interpretan.
Pierce membedakan tanda menjadi tiga macam yaitu :
• Iconic Sign (al-Alamah al-Iquniyah)
Yaitu, tanda yang menjelaskan acuan/bendanya melalui cara imitasi, seperti: gambar benda, lukisan, peta, patung, dan sebagainya.
• Indexical Sign(al-Alamah al-Isyariyah)
Yaitu, tanda yang menjelaskan acuan melalui adanya hubungan yang lazim/biasa, seperti: asap adalah tanda adanya api, tanda mengeong adalah tanda adanya kucing, dan sebagainya.
• Syimbol (al-Rumz)
Yaitu, tanda yang menjelaskan acuan melalui adanya makna istilah yang telah disepakati oleh manusia, seperti rambu-rambu lalu lintas, suara bel, dan sebagainya, termasuk juga kosakata bahasa, misalnya: pohon, kuda dan sebagainya.
Sehubungan dengan pandangan tersebut maka perlu diberikan catatan, bahwa bahasa yang ada didunia ini ada yang diciptakan manusia sendiri, yaitu bahasa yang tidak berkembang dengan sendirinya, seperti lalu lintas dan sistem yang berlaku dalam logika, terdapat juga sistem tanda sekunder yang berfungsi didalam rangka sebuah sistem primer, seperti dalam bahasa alam. Singkatnya, bahasa itu tidak hanya yang bisa kita jumpai secara umum, tetapi terdapat bhasa-bahasa diluar itu. Pandangan bahasa semacam inilah yang ada dalam pandangan semiotika.

2.2. Macam-macam Semiotik
2.2.1. Semiotik Analitik
Semiotik yang menganalisis system tanda. Peirce menyatakan bahwa semiotic berobjekan tanda dan menganalisinya menjadi ide, objek, dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambing, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambing yang mengacu pada objek tertentu.
2.2.2. Semiotik deskriptif
Semiotik yang memperhatikan system tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Misalnya langit yang mendung menandakan bahwa hujan tidak lama lagi akan turun, dari dahulu sampai sekarang tetap seperti itu.
2.2.3. Semiotik Faunal
Semiotik yang khusus memperhatikan system tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya biasanya menghasilkan tanda tanda untuk berkomunikasi sesamanya, tetapi juga sering menghasilkan tanda yang dihasilkan tanda yang dapat ditafsirkan oelh manusia. Misalnya seekor ayam betina yang berkotek-kotek menandakan ayam ayam itu akan bertelur atau ada sesuatu yang ia takuti.
2.2.4. Semiotik Kultural
semiotic yang khusus menelaah system tanda yang berlaku dalam kebudayaaan masyarakat tertentu. Telah diketahui bahwa masyarakat sebagai mahluk sosial memiliki sitem budaya tertentu yang telah turun temurun dipertahankan dan dihormati. Budaya yang terdapat dalam masyarakat yang juga merupakan system itu, menggunakan tanda-tanda tertentu yang membedakan dengan masyarakat yang lain. Seperti bhineka tunggal ika yang mencirikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk.
2.2.5. Semiotik Naratif
Semiotik yang menelaah system tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan. Telah diketahui bahwa mitos dan cerita lisan, ada diantaranya memiliki nilai kultural tinggi. Itu sebabnya Greimas memulai pembahasanya tentang nilai-nilai kultural ketika ia membahas persoalan semiotic naratif.
2.2.6. Semiotika Natural
Semiotik yang khusus menelaah system tanda yang dihasilkan oleh alam. Air sungai keruh menandakan bahwa dihulu ada hujan, dan daun pohon-pohonan yang menguning lalu gugur menandakan bahwa telah tiba musim gugur. Alam yang tidak bersahabat dengan manusia, misalnya banjir atau tanah longsor sebenarnya memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah merusak alam.
2.2.7. Semiotik Normatif
Semiotic yang khusus menelaah system tanda yang dibuat olah manusia yang berwujud norma-norma. Misalnya ramubu- rambu lalu lintas.
2.2.8.Semiotik Sosial
Semiotic yang khusus menelaah system tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang. Baik lambang berwujudud kata maupun lambang berwujud kata dalam satuanyang disebut kalimat.
2.2.9. Semiotik Struktural
Semiotik yang khusus Menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
3. Semiotika dalam Islam
Diera modern ilmu ini memiliki dua seorang bapak, yaitu Charles Sanders pierce (1830-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913). Istilah “semiotika” ini sebenarnya diusulkan pertama kali oleh Lambart, seorang ahli filsafat Jerman pada abad ke-18 sebagai sinonim kata Logika.
Dalam Islam, dasar-dasar semiotika yang dikemukakan Charles Sanders Pierce tersebut ada pada konsep “konsep”, yaitu suatu hal yang dapat membangkitkan adanya petunjuk. Apa yang diacunya atau yang ditunjuknya disebut “madlul”. Kedua konsep ini dibahasa secara rinci dalam ilmu mantiq atau Loika , ilmu ma’ani dan ilmu bayan atau semantika Islam, Ilmu Tafsir. Jadi, belum menjadi ilmu sendiri ia hanya bersifat filosofis yang dititipkan pembahasannya pada ilmu mantiq. Menurut ilmu ahli mantiq, ilmu mantik adalah mempelajari bagaiman orang bernalar atau bagaiman orang bias berfikir benar. Dalam hipotesis teori pierce yang mendasar, bahwa penalaran itu dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhububungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta.
Kata “dilalah” dalam ilmu mantiq merujuk pada dua pengertian. Pertama, kata “dilalah” didefinisikan sebagai “ sesuatu yang dapat memberikan pengertian tentang sesuatu yang lain, apakah bias dimengerti atau tida bias dimengerti”. Sesuatu yang memberikan pengertian disebut “daal” (yang menunjukan), sedangkan sesuatu yang lain disebut “madlul” (yang ditunjukan). Contohnya adalah seperti lafal “Ali” atau “Muhammad”, keduanya dapat dimengerti sebagi “zat” (diri) seseorang yang diberi nama Ali dan Muhammad. Yang menunjukan dalam konsep Pierce sama artinya dengan “tanda”, yaitu yang mengemukakan sesuatu. Sedangkan “yang ditunjukan” atau “madlul” adalah sama artinya dengan Object, denotatum, referent atau acuan.
Kedua, kata “dilalah” didefinisikan Fahmu amrin min amrin”, artinya mengertinya terhadap sesuatu karena didasarkan pada pemahaman sesuatu yang lainnya. Contohnya seperti mengartikan “hayawanun muftarisun” (binatang buas) kepada kata “asadun”, yaitu singa atau macan. Ungkapan “hayawanun muftarisun” disebut “madlul” atau “amrun mafhumun” yaitu sesuatu yang dimengerti, sedangkan kata “asadun” (singa) disebut “daal” atau “amrun mafhumun minhu” artinya sesuatu yang memberi penengertian.
Suatu pengertian dapat ditunjukan olleh suatu tanda. Tanda itu dapat berbentuk kata dan bukan kata. Misalnya: kata rumah menujukkan bangunan tempat tinggal yang terdiri dari tiang, dingding, atap dan sebagainya. Tanda yang bukan kata misalnya merah muka menunjukan malu. Kalau kita melihat cara yang menunjuk kepada pengertian masing-masing tanda(kata dan bukan kata), maka dapat dibagi dua:
3.1. Kata( لفظية) :
 tanda bersifat pembawaan (طبيعية)
Seperti: rintihan menunjukan sakit.
 tanda yang berdasarkan akal (عقلية)
seperti : suara dalam kamar menunjukan ada orang didalamnya
 tanda yang berdasarkan penetapan / istilah (وضعية)
seperti: kata-kata yang menunjukan arti yang ditetapkan bagi kata-kata itu dalam bahasa
3.2. Bukan Kata(غير لفظية) :
 tanda yang bersifat bawaan (طبيعية)
seperti merah muka menunjukan malu.
 Tanda yang berdasarkan akal) (عقلية
Seperti perubahan susunan kamar, menunjukan ada orang yang masuk dan mengadakan perubahan
 Tanda yang berupa pentapan (وضعية)
Seperti : bendera setengah tiang menandakan keadaan berkabung.






BAB III
SIMPULAN
Bila diamati dari pembahasan diatas kita akan sampai pada kesimpulan bahwa Ferdinan de Saussure menjelaskan bahwa bahasa pada dasarnya merupakan suatu sistem yang saling berkaitan satu dengan yang lainya. Pengertian semacam itulah yang menjadi landasaan bagi pengertian struktur. Pemakaian kata struktur dalam strukturalisme adalah senantiasa disertai oleh seluruh distingsi-distingsi, langue dan parol, Sintagmatik dan Paradigmatik , serta signifiant dan signifie, dan juga sinkroni diakroni. Kata memiliki makna karena mereka sebagai simbol bagi sesuatu diluar darinya. makna adalah objek dari simbolisasi itu, kata adalah sebuah lebel yang dihinggapi sesuatu, dan sesuatu itu adalah makna dari kata. Dalam sistem yang mantap seperti bahasa, makna tanda itu bukan menjadi kewenangan pemakaiaan secara perorangan, tetapi merupakan sifat-sifat milik masyarakat ujaran tertentu. Artinya, setiap individu adalah bagian dari masyarakatnya. Sesungguhnya masih ada sistem tanda lain yang lazim dipakai dalam komunikasi. Diantaranya isyarat, seperti menunjuk sesuatu untuk menarik perhatiaan, tanda tertulis seperti “dilarang palkir” dan suara seperti bunyi sirine, nah tanda-tanda itu mengusung arti.

0 komentar :

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com