Senin, 27 April 2015

konsep tasawuf Imam al Ghazali

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tasawuf sebagai salah satu ilmu esoterik islam selalu menarik untuk diperbincangkan. Terlebih pada saat ini dimana masyarakat seakan mengalami KATA PENGANTAR

puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.
Sholawat teriringkan salam senantiasa terlimpah curahkan atas baginda alam Nabi SAW yang telah membawa umatnya dari alam gelap gulita menuju alam yang terang benderang seperti sekarang ini.
Alhamdulillah pada tugas ini kami susun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang. KONSEP AJARAN TASAWUF , dan pada tugas ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah SWT akhirnya tugas ini dapat terselesaikan.
Tugas ini memuat tentang “KONSEP AJARAN TASAWUF IMAM AL-GHOZALI- ” yang sangat perlu untuk di pelajari. Walaupun mungkin masih kurang sempurna tapi juga memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca.
Semoga apa yang berada pada buku ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca untuk mengetahui dan mempelajari prosesnya penerimaan dan penyebaran hadis. Walaupun ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.

Ciputat, 12 November 2013

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Imam al-Ghazali 2
B. Al-Ghazali Dari Filsafat Menuju Tasawuf………………………………. 3
C. Konsep Ma’rifah Dalam Pandangan Al-Ghazali………………………… 4
D.Ajaran Tasawuf Al-Ghozali………………………………………………. 6





BAB III PENUTUP
B. Saran 7
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latarbelakang masalah
banyak masalah sehingga tasawuf dianggaap sebagai satu obat manjur untuk mengobati kehampaan tersebut.
Terlepas dari banyaknya pro dan kontra seputar asal mula munculnya tasawuf harus kita akui bahwa nilai-nilai tasawuf memang sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Setidaknya tasawuf pada saat itu terlihat dari tingkah laku nabi yang pada akhirnya kita namakan dengan nilai-nilai sufi. Hal tersebut sangatlah wajar karena misi terpenting nabi adalah untuk memperbaiki dan sekaligus meyempurnakan akhlak masyarakat arab dulu.
Diantara salah satu tokoh tasawuf islam yang sangat terkenal adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi atau yang kita kenal dengan sebutan Imam Al-Ghazali. Beliau telah berhasil menggagas kaedah-kaedah tasawuf yang terkumpul dalam karya yang terkenal Ihya’ U’lum al-Din. Karya al-Ghazali ini dianggap sebagai jembatan yang mendamaikan syari’at dengan tasawuf yang sempat mengalami clash pada zaman itu.

B. Rumusan Masalah.
a. Bagaimana konsep Ma’rifat dan al-Sa’adah menurut al-Ghazali dalam ajaran tasawuf ?
b. Bagaimana pandangan al-Ghazali tentang Hakikat Manusia ?

C. Tujuan Pembahasan
a. Menjelaskan sejarah perjalanan hidup al-Ghazali.
b. Untuk mengetahui penjelasan tentang Ma’rifat dan al-Sa’adah menurut pandangan al-Ghazali.
c. Untuk mengetahui tentang Hakikat Manusia menurut pandangan al-Ghazali.






BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Kehidupan al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i al-Ghazali. Secara singkat dipanggil al-Ghazali atau Abu Hamid al-Ghazali. dilahirkan di Khurasan 450 / 1058 M, dan wafat 14 Jumadi al-Akhir 505 H/ 1111 M. Ia dipanggil al-Ghazali karena dilahirkan di Ghazlah, suatu kota di Khurasan Iran.
Ayah al-Ghazali adalah seorang miskin pemintal kain wol yang taat, sangat menyayangi ulama, dan sering aktif menghadiri pengajian-pengajian. Ketika menjelang wafatnya, ayahnya menitipkan al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada seorang sufi. Ia menitipkan sedikit harta kepada sufi itu seraaya berkata dalam wasiatnya :
“ Aku menyesal sekali Karen aku tidak belajar menulis, aku berharap mendapatkan apa yang tidak aku dapatkan itu melalui dua putraku ini.”
Sang sufi menjalankan isi wasiatnya itu dengan cara mendidik dan mengajar keduanya, smpai harta titipanya habis dan sufi itu tidak mampu lagi member makan keduanya, selanjunya menyerahkan kedua anak titipanya pada pengelola sebuah madrasah untuk belajar sekaligus menyambung hidup mereka.
Di madrasah tersebut, al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad al-Rizkani. Kemudian, al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naisabur, dan disinilah ia berguru kepada Imam Harmain ( al-Juwaini,wafat 478 H/ 1086 M.) hingga menguasai ilmu mantiq, ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh, tasawuf, filsafat, dan retorika perdebatan.
Selama berada di Naisabur, al-Ghazali tidak saja belajar kepada al-Juwaini, tetapi juga mempergunakan waktunya untuk belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf al-Nasaj. Ilmu-ilmu yang didapatnya dari al-Juwaini benar-benar ia kuasai, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu tersebut, serta member sanggahan-sanggahan kepada penentangnya. Karena kemahiranya dalam masalah ini, al-Juwain menjuluki al-Ghazali dengan sebutan “Bahr Mu’riq” (lautan yang menghanyutkan). Kecerdasaan dan keluasan wawasan berpikir yang dimiliki al-Ghazali membuatny menjadi popular.
Setelah Imam Harmain wafat (478 H/1086 M.), al-Ghazali pergi ke Baghdad, tempat berkuasanya Perdana Menteri Nizham al-Muluk (w.485 H/ 1091 M.) dan juga temat berkumpul sekaligus tempat diselenggarakannya perdebatan-perdebatan antara ulama-ulama terkemuka, ia terpancing untuk melibatkan diri dalam perdebatan itu. Ternyata, ia serig mengalahkan para ulama ternama, sehingga mereka tidak segan-segan mengakui keunggulan al-Ghazali.
Sejak saat itu, nama al-Ghazali menjadi terkenal di kawasan kerajaan Saljuk. Hal itu menyebabkannya dipilih oleh Nizam al-Muluk untuk menjadi guru besar di Universitas NIzhamiya, Baghdad, pada tahun 483 H/ 1090 M. meskipun usianya baru 30 tahun. Selain mengajar di Nizhamiyah, ia juga aktif mengadakan perdebatan dengan paham golongan-golongan yang berkembang waktu itu.
Dibalik kegiatan perdebatan dan penyelaman berbagai aliran, timbul pergolakan dalam dirinya karena tidak ada yang memberikan kepuasan batinya, untuk itulah, ia memutuskan untuk melepaskan jabatandan pengaruhnya untuk meninggalkan Baghdad menuju Syiria, Palestin, dan kemudian ke Mekah untuk mencari kebenaran. Setelah memperoleh kebenaran hakiki pada akhir hidupnya, tidak lama kemudian ia wafat di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 M, atau pada hari senin 14 Jumadi al-akhir tahun 505 H, dengan meninggalkan banyak karya tulisnya.
Al-Ghazali merupakan salah seorang sufi yang sangat produktif menulis beberapa kitab, antara lain :
 Mizanu al-‘Amal
 Bidayatu al-Hidayah
 Miskatu al-Anwar
 Al-Munqiz Mina al-Dalal
 Minhaju al-Abidin
 Al-Arbain Fi-Ushul al-Din
 Ihya ‘Ulumu al-din

B. Al-Ghazali Dari Filsafat Menuju Tasawuf
Sebagai seorang ilmuwan, filosof, ahli fiqh, ahli tasawuf dan bahkan pengetahuan lain yang cukup dalam,dengan sebutan atau gelar orang-orang sezamanya sebagai lautan yang tak bertepi akibat kedalaman ilmu pengetahuannya, dia mampu mengucapkan pengetahuanya itu secara menarik sebagai yang tercermin dalam karya-kariyanya.
Selain itu, kendati al-Ghazali telah menyerang para filosof,ia sebenarnya banyak memanfaatkan tulisan-tulisan mereka. Tentang akal misalnya, al-Ghazali menjelaskan bahwa akal adalah daya yang membedakan jiwa manusia dan binatang. Akal berfungsi untuk menangkap pengetahuan, baik teoritis maupun praktis, akal mempunyai empat tingkatan ;
 Akal garizi (dimiliki oleh bayi ).
 Aksioma (anak mumayyiz).
 Akal yang sudah memiliki pengetahuan melalui pengalaman teoritis dan praktis.
 Akal yang mampu mengendalikan hawa nafsu.

Sebagaian ulama yang akhirnya memilih dan lebih mengunggulkan jalan tasawuf , al-Ghazali mengingatkan bahwa bahwa pengetahuan akal dalam banyak hal dalam wilayah empiris dan matematis, memang dapat diterima oleh hati dan keyakinan yang penuh. Hati merasa memiliki ma’rifat tentang tuhan dengan keyakinan yang penuh, yakni yang tidak dapat mungkin dapat digoyahkan dengan apapun, sehingga bisa secara langsung rahasia-rahasia Tuhan. Terlepas dari nasehat al-Ghazali kepada para Ulama diatas. Kecendrungan al-Ghazali untuk menekuni dunia tasawuf disebabkan disebabkan oleh pengalamanya yang sejak kecil sebagai petualangan Intelektual yang hendak menimba Ilmu dari para Syekh.
Selama periode kehidupannya al-Ghazali menimba dan mendalami banyak cabang ilmu, dan filsafat. Dia mempelajari ilmu-ilmu tersebut barangkali untuk menghilangkan keraguanya yang muncul sejak mengajar . tapi ternyata ilmu-ilmu ini tidak memberikan ketenangan jiwanya. Kegelisahan jiwanya justru semakin menggelora sampai membuatnya tertimpa krisis psikis yang kronis.
Mengenai krisis yang menimpa dirinya, al-Ghazali berkata sebagai berikut :
“Lalu keaadan dirikupun kurenungi, dan ternyata aku telah tenggelam dalam ikatan-ikatan duniawi yang penuh meliputi diriku dari segala sudut. Amal-amalankupun kurenungi, khususnya amalanku yang terbaik, yaitu mengajar dan ternyata dan ternyata aku hanya menerima ilmu-ilmu yang sepele dan tak berguna. Akupun memikirkan niatku dalam mengajar, dan ternyata niatku tidak iklas demi allah. Bahkan hanya didorong oleh keinginan terhadap jabatan sehingga menjadi terkenal. Akuppun menjadi yakin bahwa akupun hamper mengalami kehancuran, dan aku benar-benar tidak akan lepas dari neraka, andai saja aku tidak meninggalkan hal-hal yang sepele tersebut.
C. Ajaran Tasawuf Al-Ghozali
Al-Ghazali, setelah mengkaji berbagai alian para filosof, teolog dan batiniyah tersebut akhirnya menentukan pilihanya untuk memilih duna sufi. Menurut para sufilah yang merupakan pencari kenbenaran yang hakiki. Lebih lanjut lagi al-Ghazali mengatakan bahwa jalan para sufi adalah paduan ilmu dan amal, sedangkan buahnya moralitas.
Setelah mengkaji tasawuf, al-Ghazali pun sepenuhnya mengarahkan dirinya menempuh jalan para sufi. Inilah jalan yang akhirnya menyembuhkan krisis rohaniah yang menimpanya, dimana dengan keputusan dengan tersebut al-Ghazali bersikap jujur pada dirinya sendiri. Dengan begitu maka diapun berhasil membuktiksn kekuatan manusia yang tidak menyerah pada kelemahan dalam mengendalikan hawa nafsunya. Dan hal tersebut bahkan menjadi teladan bagi setiap orang yang ingin mencapai kesempurnaan moral maupun spiritual.


Untuk menjalani kehidupan sufi, menurut al-Ghazali harus perlu dilalui fase-fase berikut :
 Al-Thariq

Sebagaiman al-Ghazali telah menguraikan perkembangan kehidupan rohaniah dalam karya-karyanya, al-Munqiz min al-Dalal dan Ihya ‘Ulum al-Din, dalam kitab ini ia menjelaskan semua jalan yang harus dilakukan oleh seseorang untuk menjalani kehidupan sufi, mulai dari awal hingga ujung akhirnya. Selain itu al-Ghazalijuga mengatakan bahwa jalan para sufi dalam karya ini dimaksudkan sebagai “pensucian diri anda, pembersihannya serta pencerahanya, lalu persiapan dan penantian (ma’rifat). Dari pernyataan ini jelas bahwa menurut al-Ghozali tujuan jalan para sufi adalah penempuhan fase-fase moral dan latihan jiwa, serta penggantian moral yang tercela dengan moral yang terpuji. Sehingga dengan ini seorang menempuh jalan tersebut akan mencapai pengenalan dengan allah. Jadi poros seorang sufi adalah moralitas.

 Ma’rifat
Perbedaan al-Ghazali dengan para sufi sebelumnya adalah dia telah menjadikan sebagai jalan mengeenal allah, yang jelas cirri-ciri dan batasanya. Khususnya dalam Ihya ‘Ulum al-Din, secara rinci ia membahas pengetahuan mistis dari segi pencapaiannya, metodenya, obyeknya, dan tujuanya, disertai perbandingan dengan pengetahuan para teoritis yang bukan sufi.
Menurut al-Ghazali sarana ma’rifat seorang sufi adalah kalbu, bukan perasaan dan bukan akal. Kalbu menurut al-Ghazali bagaikan cermin, sementara ilmu adalah pantulan gambar realitas yang terdapat didalamnya. Jelasnya jika cermin kalbu tidak bening adalah hawa nafsu tubuh.
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan roh Harun Nasution menjelaskan pendapat Al-Ghazali yang di kutip dari Al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika di limpahi cahaya Tuhan qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.
 Kebahagiaan
Menurut al-Ghazali kebahagiaan dan kelezatan hidup akan tercapai jika sesuai dengan tabitat manusia yang diinginkan. Tetapi kebahagian seluruh anggota tubuh manusia hanyalah kebahagian semu dan akan musnah sesuai hilangnya nyawa manusia, sedangkan kebhagiaan dan kelezatan yang kekal adalah bertemunya manusia sebagai hamba allah yang menciptakan seluruah isi dalam dunia. Karena itu, kebahagiaan yang hakiki adalah jika manusia telah mengenal allah dengan mata hatinya.
Menurut ghazali kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah didalam kitab Kimiya As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya, nikmatnya mata terletak saat kita bisa melihat sesuatu yang indah, nikmatnya telinga terletak ketika kita mendengar suara yang merdu. Demikian juga seluruh tubuh mempunyai kenikmatan tersendiri. Kenikmatan Qolb (hati) sebagai alat memperoleh ma’rifat terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan paling agung yang tiada taranya karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia. Sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan tergantung qolb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati, karena qalb tidak ikut mati malah kenikmatannya bertambah karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.
Al-Ghazali lebih lanjut berbicara tentang teori kebahagiaan menurutnya bahwa kebahagiaan itu ada 2 macam, yaitu lazaat (kepuasan) dan sa’adah (kebahagiaan). Dengan bertambah banyak yang diketahui, bertambah pula kepuasan dan kebahagiaan, itulah sebabnya orang yang lebih luas ilmunya lebih merasa berbahagia daripada orang yang kurang ilmu. Maka dimanakah puncak tertinggi dari kepuasan dan kebahagiaan ? Puncaknya tertinggi ialah Ma’rifatullah mengenai Tuhan.
Dengan demikian menurut Ghazali bahwasanya puncaknya segala keindahan, kepuasan dan kebahagiaan adalah mengetahui pokok pangkal segala keindahan yaitu Allah, tidak ada diatas itu lagi. Karena kalau tempat mencari ma’rifat sudah terasa indah, puas dan bahagia kononlah ma’rifat.

















BAB III
PENUTUP
A.SARAN
Untuk memahami ilmu tasawuf khususnya dalam konsep Ma’rifat, al-Thariq dan al-Sa’adah , hendaknya tidak hanya tertumpu pada satu literatur saja. Oleh karena itu makalah ini semoga menjadi pemacu penyusun khususnya dan penyusun berikutnya pada umumnya untuk lebih mendalami ilmu tasawuf, sehingga apa yang sudah dijelaskan dalam makalah ini bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari menjadi lebih baik sesuai dari tujuan ilmu tasawuf itu sendiri

0 komentar :

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com